Sabtu, 06 Oktober 2012

Semangat Hidupku


Kompetensi Seorang Guru


Kompetensi Seorang Guru
1. Kompetensi Profesional
Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian (expertise) para anggotanya. Artinya pekerjaan itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan itu. Profesional menunjuk pada dua hal, yaitu (1) orang yang menyandang profesi, (2) penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya (seperti misalnya dokter).
Makmum (1996: 82) menyatakan bahwa teacher performance diartikan kinerja guru atau hasil kerja atau penampilan kerja. Secara konseptual dan umum penampilan kerja guru itu mencakup aspekaspek; (1) kemampuan profesional, (2) kemampuan sosial, dan (3) kemampuan personal.
Johnson (dalam Sanusi, 1991:36) menyatakan bahwa standar umum itu sering dijabarkan sebagai berikut; (1) kemampuan profesional mencakup, (a) penguasaan materi pelajaran, (b) penguasaan penghayatan atas landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan, dan (c) penguasaan proses-proses pendidikan. (2) kemampuan sosial mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu  membawakan tugasnya sebagai guru. (3) kemampuan personal (pribadi) yang beraspek afektif mencakup, (a) penampilan sikap positif terhadap keseluruhan tugas sebagai guru, (b) pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai-nilai yang seyogyanya dianut oleh seorang guru, dan (c) penampilan untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan keteladanan bagi peserta didik.
2. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian menurut Suparno (2002:47) adalah mencakup kepribadian yang utuh, berbudi luhur, jujur, dewasa, beriman, bermoral; kemampuan mengaktualisasikan diri seperti disiplin, tanggung jawab, peka, objekti, luwes, berwawasan luas, dapat berkomunikasi dengan orang lain; kemampuan mengembangkan profesi seperti berpikir kreatif, kritis, reflektif, mau belajar sepanjang hayat, dapat ambil keputusan dll. (Depdiknas,2001). Kemampuan kepribadian lebih menyangkut jati diri seorang guru sebagai pribadi yang baik, tanggung jawab, terbuka, dan terus mau belajar untuk maju. Yang pertama ditekankan adalah guru itu bermoral dan beriman. Hal ini jelas merupakan kompetensi yang sangat penting karena salah satu tugas guru adalah membantu anak didik yang bertaqwa dan beriman serta menjadi anak yang baik. Bila guru sendiri tidak beriman kepada Tuhan dan tidak bermoral, maka menjadi sulit untuk dapat membantu anak didik beriman dan bermoral. Bila guru tidak percaya akan Allah, maka proses membantu anak didik percaya akan lebih sulit. Disini guru perlu menjadi teladan dalam beriman dan bertaqwa. Pernah terjadi seorang guru beragama berbuat skandal sex dengan muridnya, sehingga para murid yang lain tidak percaya kepadanya lagi. Para murid tidak dapat mengerti bahwa seorang guru yang mengajarkan moral, justru ia sendiri tidak bermoral. Syukurlah guru itu akhirnya dipecat dari sekolah.
Yang kedua, guru harus mempunyai aktualisasi diri yang tinggi. Aktualisasi diri yang sangat penting adalah sikap bertanggungjawab. Seluruh tugas pendidikan dan bantuan kepada anak didik memerlukan tanggungjawab yang besar. Pendidikan yang menyangkut perkembangan anak didik tidak dapat dilakukan seenaknya, tetapi perlu direncanakan, perlu dikembangkan dan perlu dilakukan dengan tanggungjawab. Meskipun tugas guru lebih sebagai fasilitator, tetapi tetap bertanggung jawab penuh terhadap perkembangan siswa. Dari pengalaman lapangan pendidikan anak menjadi rusak karena beberapa guru tidak bertanggungjawab. Misalnya, terjadi pelecehan seksual guru terhadap anak didik, guru meninggalkan kelas seenaknya, guru tidak mempersiapkan pelajaran dengan baik, guru tidak berani mengarahkan anak didik, dll.
Kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain sangat penting bagi seorang guru karena tugasnya memang selalu berkaitan dengan orang lain seperti anak didik, guru lain, karyawan, orang tua murid, kepala sekolah dll. Kemampuan ini sangat penting untuk dikembangkan karena dalam pengalaman, sering terjadi guru yang sungguh pandai, tetapi karena kemampuan komunikasi dengan siswa tidak baik, ia sulit membantu anak didik maju. Komunikasi yang baik akan membantu proses pembelajaran dan pendidikan terutama pada pendidikan tingkat dasar sampai menengah.
Kedisiplinan juga menjadi unsur penting bagi seorang guru. Kedisiplinan ini memang menjadi kelemahan bangsa Indonesia, yang perlu diberantas sejak bangku sekolah dasar. Untuk itu guru sendiri harus hidup dalam kedisiplinan sehingga anak didik dapat meneladannya. Di lapangan sering terlihat beberapa guru tidak disiplin mengatur waktu, seenaknya bolos; tidak disiplin dalam mengoreksi pekerjaan siswa sehingga siswa tidak mendapat masukan dari pekerjaan mereka. Ketidakdisiplinan guru tersebut membuat siswa ikut-ikutan suka bolos dan tidak tepat mengumpulkan perkerjaan  rumah. Yang perlu diperhatikan di sini adalah, meski guru sangat disiplin, ia harus tetap membangun komunikasi dan hubungan yang baik dengan siswa. Pendidikan dan perkembangan pengetahuan di Indonesia kurang cepat salah satunya karena disiplin yang kurang tinggi termasuk disiplin dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan dalam belajar.
Yang ketiga adalah sikap mau mengembangkan pengetahuan. Guru bila tidak ingin ketinggalan jaman dan juga dapat membantu anak didik terus terbuka terhadap kemajuan pengetahuan, mau tidak mau harus mengembangkan sikap ingin terus maju dengan terus belajar. Di jaman kemajuan ilmu pengetahuan sangat cepat seperti sekarang ini, guru dituntut untuk terus belajar agar pengetahuannya tetap segar. Guru tidak boleh berhenti belajar karena merasa sudah lulus sarjana.
3. Kompetensi Paedagogik
Selanjutnya kemampuan paedagogik menurut Suparno (2002:52) disebut juga kemampuan dalam pembelajaran atau pendidikan yang memuat pemahaman akan sifat, ciri anak didik dan perkembangannya, mengerti beberapa konsep pendidikan yang berguna untuk membantu siswa, menguasai beberapa metodologi mengajar yang sesuai dengan bahan dan perkambangan siswa, serta menguasai sistem evaluasi yang tepat dan baik yang pada gilirannya semakin meningkatkan kemampuan siswa.
Pertama, sangat jelas bahwa guru perlu mengenal anak didik yang mau dibantunya. Guru diharapkan memahami sifat-sifat, karakter, tingkat pemikiran, perkembangan fisik dan psikis anak didik. Dengan mengerti hal-hal itu guru akan mudah mengerti kesulitan dan kemudahan anak didik dalam belajar dan mengembangkan diri. Dengan demikian guru akan lebih mudah membantu siswa berkembang. Untuk itu diperlukan pendekatan yang baik, tahu ilmu  psikologi anak dan perkembangan anak dan tahu bagaimana perkembangan pengetahuan anak. Biasanya selama kuliah di FKIP guru mendalami teori-teori psikologi tersebut. Namun yang sangat penting adalah memahami anak secara tepat di sekolah yang nyata.
Kedua, guru perlu juga menguasai beberapa teori tentang pendidikan terlebih pendidikan di jaman modern ini. Oleh karena sistem pendidikan di Indonesia lebih dikembangkan kearah pendidikan yang demokratis, maka teori dan filsafat pendidikan yang lebih bersifat demokratis perlu didalami dan dikuasai. Dengan mengerti bermacammacam teori pendidikan, diharapkan guru dapat memilih mana yang paling baik untuk membantu perkembangan anak didik. Oleh karena guru kelaslah yang sungguh mengerti situasi kongrit siswa mereka, diharapkan guru dapat meramu teori-teori itu sehingga cocok dengan situasi anak didik yang diasuhnya. Untuk itu guru diharapkan memiliki kreatifititas untuk selalu menyesuaikan teori yang digunakan dengan situasi belajar siswa secara nyata.
Ketiga, guru juga diharapkan memahami bermacam-macam model pembelajaran. Dengan semakin mengerti banyak model pembelajaran, maka dia akan lebih mudah mengajar pada anak sesuai dengan situasi anak didiknya. Dan yang tidak kalah penting dalam pembelajaran adalah guru dapat membuat evaluasi yang tepat sehingga dapat sungguh memantau dan mengerti apakah siswa sungguh berkembang seperti yang direncanakan sebelumnya. Apakah proses pendidikan sudah dilaksanakan dengan baik dan membantu anak berkembang secara efisien dan efektif.
Kompetensi profesional meliputi: (1) menguasai landasan pendidikan, (2) menguasai bahan pembelajaran, (3) menyusun program pembelajaran, (4) melaksanakan program pembelajaran, dan (5) menilai proses serta hasil pembelajaran.
4. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial meliputi: (1) memiliki empati pada orang lain, (2) memiliki toleransi pada orang lain, (3) memiliki sikap dan kepribadian yang positif serta melekat pada setiap kopetensi yang lain, dan (4) mampu bekerja sama dengan orang lain.
Menurut Gadner (1983) dalam Sumardi (Kompas, 18 Maret 2006) kompetensi sosial itu sebagai social intellegence atau kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial merupakan salah satu dari sembilan kecerdasan (logika, bahasa, musik, raga, ruang, pribadi, alam, dan kuliner) yang berhasil diidentifikasi oleh Gardner. Semua kecerdasan itu dimiliki oleh seseorang. Hanya saja, mungkin beberapa di antaranya menonjol, sedangkan yang lain biasa atau bahkan kurang. Uniknya lagi, beberapa kecerdasan itu bekerja secara padu dan simultan ketika seseorang berpikir dan atau mengerjakan sesuatu (Amstrong, 1994).
Sehubungan dengan apa yang dikatakan oleh Amstrong itu ialah bahwa walau kita membahas dan berusaha mengembangkan kecerdasan sosial, kita tidak boleh melepaskannya dengan kecerdasan-kecerdasan yang lain. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa dewasa ini banyak muncul berbagai masalah sosial kemasyarakatan yang hanya dapat dipahami dan dipecahkan melalui pendekatan holistik, pendekatan komperehensif, atau pendekatan multidisiplin.
Kecerdasan lain yang terkait erat dengan kecerdasan sosial adalah kecerdasan pribadi (personal intellegence), lebih khusus lagi kecerdasan emosi atau emotial intellegence (Goleman, 1995). Kecerdasan sosial juga berkaitan erat dengan kecerdasan keuangan (Kiyosaki, 1998). Banyak orang yang terkerdilkan kecerdasan sosialnya karena impitan kesulitan ekonomi.
Dewasa ini mulai disadari betapa pentingnya peran kecerdasan sosial dan kecerdasan emosi bagi seseorang dalam usahanya meniti  karier di masyarakat, lembaga, atau perusahaan. Banyak orang sukses yang kalau kita cermati ternyata mereka memiliki kemampuan bekerja sama, berempati, dan pengendalian diri yang menonjol.
Dari uraian dan contoh-contoh di atas dapat kita singkatkan bahwa kompetensi sosial adalah kemampuan seseorang berkomunikasi, bergaul, bekerja sama, dan memberi kepada orang lain. Inilah kompetensi sosial yang harus dimiliki oleh seorang pendidik yang diamanatkan oleh UU Guru dan Dosen, yang pada gilirannya harus dapat ditularkan kepada anak-anak didiknya.
Untuk mengembangkan kompetensi sosial seseorang pendidik, kita perlu tahu target atau dimensi-dimensi kompetensi ini. Beberapa dimensi ini, misalnya, dapat kita saring dari konsep life skills (www.lifeskills4kids.com). Dari 35 life skills atau kecerdasan hidup itu, ada 15 yang dapat dimasukkan kedalam dimensi kompetensi sosial, yaitu: (1) kerja tim, (2) melihat peluang, (3) peran dalam kegiatan kelompok, (4) tanggung jawab sebagai warga, (5) kepemimpinan, (6) relawan sosial, (7) kedewasaan dalam bekreasi, (8) berbagi, (9) berempati, (10) kepedulian kepada sesama, (11) toleransi, (12) solusi konflik, (13) menerima perbedaan, (14) kerja sama, dan (15) komunikasi.
Kelima belas kecerdasan hidup ini dapat dijadikan topik silabus dalam pembelajaran dan pengembangan kompetensi sosial bagi para pendidik dan calon pendidik. Topik-topik ini dapat dikembangkan menjadi materi ajar yang dikaitkan dengan kasus-kasus yang aktual dan relevan atau kontekstual dengan kehidupan masyarakat kita. Dari uraian tentang profesi dan kompetensi guru, menjadi jelas bahwa pekerjaan/jabatan guru adalah sebagai profesi yang layak mendapatkan penghargaan, baik finansial maupun non finansial.

Jumat, 05 Oktober 2012

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH

PENDAHULUAN
I.        Latar Belakang

                Ushul fiqh adalah pengetahuan mengenai berbagai kaidah dan bahasa yang  menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia mengenai dalil-dalilnya yang terinci. Ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ilmu ushul fiqh dapat diumpamakan seperti sebuah pabrik yang mengolah data-data  dan menghasilkan sebuah produk yaitu ilmu fiqh.

                Menurut sejarahnya, fiqh merupakan suatu produk ijtihad lebih dulu dikenal dan dibukukan dibanding dengan ushul fiqh. Tetapi jika suatu peroduk telah ada maka tidak mungkin tidak ada pabriknya. Ilmu fiqh tidak mungkin ada jika tidak ada ilmu ushul fiqh. Oleh karena itu, pembahasan pada makalah ini mengenai sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu ushul fiqh. Sehingga kita bisa mengetahui bagaimana dan kapan ushul fiqh itu ada.

II.      Rumusan Masalah

a)      Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan ilmu ushul fiqh sebelum dibukukan?
b)      Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan ilmu ushul fiqh pada masa pembukuan?
c)       Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan ilmu ushul fiqh pada masa pasca Syafi’i?



SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH

a)      Ushul Fiqh Sebelum Dibukukan

1.       Masa Nabi Muhammad SAW

                        Pada masa nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan ilmu fiqh dikembalikan kepada Rasul. Namun terdapat juga beberapa usaha-usaha dari beberapa Sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum[1]. Mereka melakukannya dengan cara mencari jawabannya di dalam Al-Qur’an, kemudian hadits. Jika dari kedua sumber hukum tersebut tidak ditemukan, maka mereka dapat berijtihad. Pada dasarnya, beberapa Sahabat nabi tersebut sudah menggunakan Ushul Fiqh secara teori tetapi ushul fiqh pada saat itu belum menjadi suatu nama keilmuan tertentu.

2.       Masa Sahabat

                        Setelah wafatnya Rasulullah, maka yang berperan besar dalam pembentukan hukum islam adalah para Sahabat Nabi. Pada masa ini para Sahabat banyak melakukan ijtihad ketika suatu masalah tidak dijumpai di dalam Al-Qur’an dan hadits. Pada saat berijtihad, para sahabat telah menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh meskipun belum dirumuskan dalam suatu disiplin ilmu[2]. Ijtihad mereka dilakukan baik secara perseorangan maupun secara bermusyawarah. Keputusan atau kesepakatan mereka dari musyawarah tersebut dikenal dengan ijma’ Sahabat. Selain itu, mereka melakukan ijtihad dengan metode qiyas (analogi) dan mereka juga berijtihad dengan metode istishlah. Praktik ijtihad yang dilakukan para Sahabat dengan metode-metode tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat pada saat itu.

3.       Masa Tabi’in

                        Pada masa tabi’in, metode istinbat menjadi semakin jelas dan meluas disebabkan tambah meluasnya daerah islam sehingga banyak permasalahan baru yang muncul.[3] Para tabi’in melakukan ijtihad di berbagai daerah islam. Di Madinah, di Irak dan di Basrah. Titk tolak para ulama dalam menetapkan hukum bisa berbeda, yang satu melihat dari suatu maslahat, sementara yang lain menetapkan hukumnya melalui Qiyas. Dari perbedaan dalam mengistinbatkan hukum inilah, akibatnya muncul tiga kelompok ulama, yaitu Madrasah Al-Irak, Madrasah Al-Kaufah yang lebih dikenal dengan sebutan Madrasah Al-Ra’yu dan Madrasah Al-Madina dikenal dengan sebutan Madrasah Al-Hadits. Namun pada masa ini ilmu ushul fiqh masih belum terbukukan.

4.       Masa Imam-imam Mujtahid sebelum Imam Syafi’i

                        Pada periode ini, metode pengalihan hukum bertambah banyak, dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbat hukum dan teknis penerapannya. Imam Abu Hanafiah an-Nu’man (80-150H). pendiri mazhab Hanafi. Dasar-dasar istinbatnya yaitu : Kitabullah, sunah, fatwa (pendapat Sahabat yang disepakati), tidak berpegang dengan pendapat Tabi’in, qiyas dan istihsan. Demikian pula Imam Malik bin Anas (93-179H). pendiri mazhab Maliki. Di samping berpegang kepada Al-Qur’an dan sunah, beliau juga banyak mengistinbatkan hukum berdasarkan amalan penduduk Madinah.[4] Pada masa ini, Abu hanifah dan Imam Malik tidak meningalkan buku ushul fiqh.

b)      Pembukuan Ushul Fiqh

                        Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad bin Idris Asy-syafi’I (150-204H). pendiri mazhab Syafi’i. Tampil dalam meramu, mensistematisasi dan membukukan ushul fiqh. Pada masa ini ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahunan keislaman dengan ditandai didirikannya “Baitul-Hikmah”, yaitu perpustakaan terbesar di kota Baghdad pada masa itu.[5] Dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, Imam Syafi’I yang datang kemudian, banyak mengetahui tentang metode istinbat para mujtahid sebelumnya, sehingga beliau mengetahui di mana keunggulan dan di mana kelemahannya. Beliau merumuskan ushul fiqh untuk mewujudkan metode istinbat yang jelas dan dapat dipedomani oleh peminat hukum islam, untuk mengembangkan mazhab fiqhnya, serta untuk mengukur kebenaran hasil ijtihad di masa sebelumnya.

                        Beliau merupakan orang pertama yang membukukan ilmu ushul fiqh. Kitabnya yang berjudul Al-risalah (sepucuk surat) menjadi bukti bahwa beliau telah membukukan ilmu Ushul fiqh. Dalam kitabnya Imam Syafi’I berusaha memperlihatkan pendapat yang shahi dan pendapat yang tidak shahih, setelah melakukan analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah. Kitabnya tersebut juga membahas mengenai landasan-landasan pembentukan fiqh

c)       Ushul Fiqh Pasca Syafi’i

                        Kandungan kitab Al-Risalah ini pada masa sesudah Imam Syafi’I menjadi bahan pembahasan para ulama usghul fiqh secara luas. Ada yang membahas secara men-syarh (menjelaskan) tanpa mengubah atau mengurangi yang dikemukakan Imam Syafi’I dalam kitabnya. Tapi, ada juga yang membahas bersufit analisis terhadap pendapat dan teori Imam Syafi’i.

                         Masih dalam abad ketiga, banyak bermunculan karya-karya ilmiah dalam bidang ini. Salah satunya buku Al-Nasikh wa Al-Mansukh oleh Ahmad bin Hanbal (164-241H) pendiri mazhab Hanbali. Pertengahan abad keempat ditandai dengan kemunduran dalam kegiatan ijtihad di bidang fiqh, dengan pengertian tidak ada lagi orang yang mengkhususkan diri membentuk mazhab baru. Namun kegiatan ijtihad dalam bidang ushul fiqh berkembang pesat. Para ahli analisis ushul fiqh mengatakan bahwa pada masa keempat imam mazhab tersebut, ushil fiqh menemukan bentuknya yang sempurna, sehingga generasi-generasi sesudahnya cenderung memilih dan menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang dihadapi pada zaman masing-masing.[6]









PENUTUP

                Dari penjelasan pada makalah ini kita mengetahui bahwa pada hakikatnya ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh itu telah ada pada saat yang bersamaan, namun pada saat itu ilmu ushul fiqh belum dipandang sebagai suatu ilmu, tetapi metode-metode yang telah digunakan pada saat itu untuk menetapkan suatu hukum yaitu dengan cara teori ushul fiqh, seperti berdasarkan Al-Qur’an, sunah dan ijtihad. Ilmu ushul fiqh dibukukan (kodifikasi) pada masa Imam Asy-Syafi’i. Hal tersebut ditunjukkan dengan karyanya yang berjudul Al-Risalah (sepucuk surat). Setelah masa imam Syafi’I banyak karya-karya di bidang ushul fiqh yang bermunculan, itu menandakan bahwa perkembangan ilmu ushul fiqh sangat pesat pada masa itu.

















DAFTAR PUSTAKA

·         Effendi, Satria (2009). Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana Prernada Media Group
·         Umam, Chaerul. (2008). Ushul Fiqih 1. Bandung : Pustaka Setia
·         Khallaf, Abdul Wahhab (1994). Ilmu Ushul Fiqh. Semarang : Dina Utama
·         http;//eling-buchoriahnad.blogspot.com/2011/06/sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan.html?



[1] http;//eling-buchoriahnad.blogspot.com/2011/06/sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan.html?
[2] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009) Hlm. 16
[3] Ibid. Hlm. 17
[4] Chaerul Umam, Ushul fiqih 1, (Bandung ; Pustaka Setia, 2008) Hlm. 26-27
[5] op.cit. Hlm. 19
[6] op.cit. Hlm. 28